Kilas Perjalanan

Kisah perjalanan GKI Karangsaru boleh dikatakan dimulai dengan datangnya sebuah badan misi Perkabaran Injil dari Jerman ke pesisir Jawa bagian utara pada akhir abad 19. Badan misi itu, “Neukirchener Mission Hause” atau lebih dikenal dengan nama Salatiga Zending, melakukan pekabaran Injil di sepanjang pesisir pantai utara Jawa, dari Tegal sampai Bojonegoro.

Dari kota – kota pesisir itu, Injil disebarkan lebih luas lagi ke Purwodadi, Blora, Pekalongan, Tegal, Salatiga, Ungaran dan tentu saja di kota Semarang. Selain melakukan Pekabaran Injil, badan misi inipun melakukan pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan dengan mendirikan rumah sakit dan sekolah. Merekapun juga mendirikan gedung gereja untuk menampung jemaat hasil dari perkabaran Injil yang mereka lakukan.

Di Semarang sendiri, badan misi ini kemudian mendirikan sebuah gereja, Zendingkerk, yang terletak di jalan Mlatentiangwi 27 ( sekarang jalan Dr. Cipto 27, dan gereja tersebut sekarang digunakan oleh GKJ TU Semarang ). Uniknya, walaupun semula kebaktian di Zendingkerk hanya ditujukan untuk melayani penduduk pribumi yang telah percaya kepada Kristus di kota Semarang, tapi kemudian bergabung juga mereka yang berasal dari suku – suku lain, seperti Manado, Ambon, Batak, termasuk Tionghoa, yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar sehari – hari mereka.

Dari kalangan keturunan Tionghoa yang mengikuti kebaktian saat itu hanya sedikit, berjumlah tak lebih dari 12 orang ( 7 wanita dan 5 pria ) dan itupun sebagian besar telah berusia lanjut. Walaupun demikian, diantara mereka ada seorang pemuda yang setia ikut dalam kebaktian dan pelayanan yang diadakan oleh Zendingkerk. Pemuda itu bernama S.H.Liem ( Liem Siok Hie ).


PERGUMULAN MENJADI JEMAAT MANDIRI ( 1917 – 1935 )

S.H. Liem adalah seorang pemuda yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan pendidikan Kristen yang ketat dan penuh kedisplinan. Maka tidaklah heran kalau semenjak kecil beliau sudah memiliki cita – cita untuk menjadi seorang Pekabar Injil, sebuah pekerjaan yang pada jaman itu dianggap sebagai pekerjaan yang aneh dan tidak lazim. Tapi justru semangat dan kerinduan melayani Tuhan yang berkobar – kobar itulah yang kemudian dilihat oleh para pekabar Injil dari Zending sehingga mereka kemudian mengangkat dan meneguhkannya sebagai Tua – Tua ( yang pertama dari keturunan Tionghoa ) dalam Majelis Gereja campuran Gereja Zending itu pada tanggal 27 Mei 1917.

Tidak berhenti di situ saja, selama 3 tahun selanjutnya, di sela – sela kesibukannya sebagai pegawai di sebuah perusahaan Belanda “Geowehry”, S.H. Liem kemudian mengambil pendidikan khusus Alkitab sore hari di Sekolah Alkitab Zending. Atas hasil kerja kerasnya itu, pada tanggal 6 Juni 1920, S.H.Liem diteguhkan sebagai “Lerend Ouderling” ( Tua – Tua Pengajar ). Sejak saat itulah, dengan semangat yang berkobar – kobar dan didasari kerinduan yang mendalam untuk memenangkan banyak jiwa bagi Tuhan, pemuda Liem mengerahkan segala waktu dan tenaganya untuk melakukan pekabaran Injil di kalangan keturunan Tionghoa, tidak terbatas di kota Semarang saja, tapi sampai ke kota – kota lain.

Sementara itu, sekitar tahun 1928-an, beredar gagasan di kalangan umat Tionghoa Kristen, terutama yang berada di Pulau Jawa, untuk mendirikan sebuat jemaat sendiri, dimana jemaat itu mandiri, berdiri, membiayai dan mengabarkan Injil sendiri. Oleh karena itulah, para tokoh Kristen keturunan Tiong Hoa dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur kemudian mengadakan konperensi I di Cipaku, Bogor, yang kemudian diikuti konperensi berikutnya. Akhirnya, setelah dilakukan pembahasan yang cukup panjang, maka pada konperensi III yang dilakukan di Batavia tahun 1930, diputuskan untuk mempersatukan jemaat – jemaat Kristen Tionghoa ke dalam sebuah organisasi yang bernama,  “Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee”, yang kemudian digunakan sebagai nama gereja – gereja Kristen Tionghoa yang didirikan di seluruh Jawa.

Semangat mendirikan gereja Kristen Tionghoa yang mandiripun terbawa ke Semarang, Tapi sayangnya, pada tahun 1930-an itu, jumlah umat Kristen Tionghoa masih sangat kecil, itupun sebagian dari mereka telah berusia lanjut, sehingga belum memungkinkan untuk mendirikan sebuah jemaat yang mandiri. Untuk itulah, atas bantuan Khu Hwee ( Klasis ) Jawa Barat, dilakukan Kebaktian Kebangunan Rohani yang pertama di kota Semarang ( 11 – 12 Maret 1929 ) bertempat di Zendingkerk dan dilayani oleh Leland Wang, seorang penginjil muda dari Cina. Ternyata KKR ini banyak menggerakan hati orang untuk mengenal Tuhan.

Tidak berhenti di situ saja, pada tanggal 15 Desember 1931, S.H.Liem dibantu dengan Then Djin Soey, memprakarsai berdirinya “Perhimpunan Umat Kristen Tionghoa”, sebuah organisasi yang  bertujuan sebagai wadah untuk mengumpulkan dan melakukan pembinaan rohani untuk orang – orang Tionghoa Kristen yang ada di kota Semarang. Perkumpulan inilah yang nantinya menjadi cikal bakal lahirnya jemaat GKI Karangsaru Semarang.

Masalah pertama yang harus dihadapi perkumpulan ini adalah sulitnya menemukan tempat untuk berkumpulnya umat, mengingat pada masa itu keluarga – keluarga Kristen tidak bersedia meminjamkan rumahnya untuk pelayanan PI, karena takut dengan golongan ethis Tionghoa non Kristen yang pada dasarnya membenci dan menentang keras ajaran agama Kristen.

Untuk mengatasi masalah itu, S.H. Liem kemudian menyediakan rumahnya di jalan Plampitan 31 untuk digunakan sebagai kegiatan PI dan pelayanan gereja lainnya, sehingga akhirnya pada tanggal 20 Juli 1932, di tempat itu dapat diadakan persekutuan doa yang pertama, yang kemudian menjadi kegiatan rutin setiap Kamis malam jam 6 sore. Pada tahun itu juga, S.H.Liem mengundurkan diri dari perusahaan “Geowehry”, agar dapat melakukan pelayanan dan pekabaran Injil yang lebih intensif ke kalangan Tionghoa Kristen di kota Semarang dan sekitarnya.

Selain mengadakan Persekutuan Doa di Plampitan, perkumpulan juga meminta kepada Salatiga Zending untuk diperbolehkan mengadakan kebaktian umum tersendiri pada hari Minggu, khusus untuk mereka yang berasal dari kalangan Tionghoa. Usulan ini kemudian disetujui oleh Salatiga Zending, dan kebaktian pertama diadakan pada tanggal 15 Pebruari 1934 jam 10 pagi.

Selanjutnya, Salatiga Zending mengundang pengurus perkumpulan untuk membicarakan tentang keinginan jemaat Tionghoa Kristen untuk mendirikan gereja sendiri yang mandiri. Banyak hal yang ditanyakan oleh pihak Salatiga Zending tentang kesiapan mereka dalam mendirikan gereja, dari masalah jumlah anggota keturunan Tionghoa yang berbakti di situ, tentang Peraturan Gereja yang akan didirikan, masalah pengerja ( Pendeta, Guru Injil, Majelis ), sampai dengan masalah administrasi dan pengelolaan keuangan gereja. Semuanya dijawab dengan jelas dan rinci oleh S.H.Liem dan Then Djin Soey yang datang sebagai wakil pengurus perkumpulan, dan ternyata jawaban – jawaban yang mereka berikan sangat memuaskan pihak Salatiga Zending.

Akhirnya, Salatiga Zending memutuskan untuk mendewasakan bakal jemaat Kristen Tionghoa Semarang pada kebaktian khusus tanggal 7 April 1935 di gereja Zendingkerk. Selain itu, pada kebaktian pendewasaan itu dilakukan juga pentahbisan Pendeta yang pertama atas diri Ds. Liem Siok Hie serta peneguhan anggota Majelis Jemaat yang pertama.

Peresmian berdirinya jemaat baru itu juga ditandai secara simbolik penyerahan 51 anggota keturunan Tionghoa ( 11 pria, 40 wanita ) dan 18 anggota baptisan ( 12 pria, 6 wanita ) dari Salatiga Zending kepada Ketua Perhimpunan Umat Kristen Tionghoa Semarang, sebagai jemaat baru yang resmi diberi nama : Gereja Kristen “Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee” Semarang

Foto peresmian berdirinya Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Semarang, 7 April 1935